Tokek Ini Ditemukan Terjebak Dalam Ambar Selama Seratus Juta Tahun
Temuan spesimen berusia ratusan juta tahun yang terjebak dalam ambar seringkali menjadi bahan penelitian yang menakjubkan, terutama karena keawetannya yang sangat terjaga. Peneliti bahkan dapat melihat spesimen dengan detail yang tidak dapat ditemukan pada fosil umumnya.
Getah pohon yang lengket sekitar 99 juta tahun yang lalu, telah membantu kita dalam membuka jendela informasi mengenai beberapa bentuk kehidupan yang terjebak di dalamnya. Salah satu yang akan dipelajari adalah hewan yang mirip seperti tokek yang diduga berasal dari 100 juta tahun yang lalu. Bayangkan, ia terjebak dalam resin selama ratusan juta tahun hingga sampai akhirnya peneliti menemukannya.
Spesimen ini ditemukan di sebuah tempat yang saat ini disebut Myanmar. Resin yang berubah menjadi fosil berwarna kuning tersebut telah berhasil mengawetkan beberapa kadal kecil dan tokek dengan kondisi yang hampir sempurna.
Beberapa fosil resin yang ditemukan telah memperlihatkan bentuk hewan berbeda, ada yang mirip seperti kadal dan tokek. Ada juga yang seperti kadal dinding, kadal naga, dan yang mirip dengan kadal modern pun juga ada. Bahkan beberapa di antaranya ada juga bentuk yang tidak dikenali saat ini.
Hasil kajian para ilmuwan terhadap temuan berbagai bentuk hewan kecil merayap yang terjebak dalam ambar tersebut telah ditulis dalam sebuah makalah yang diterbitkan di jurnal Science Advances pada 4 Maret 2016 berjudul Mid-Cretaceous ambar fossils illuminate the past diversity of tropical lizards.
Dilansir dari Histecho.com, Dr. Edward Stanley, seorang peneliti herpetologi di Museum of Natural History Florida, mengatakan, “Kumpulan spesimen ini sangat menakjubkan, karena memiliki beberapa contoh yang benar-benar modern dan kemudian yang lain benar-benar tua, serta ada juga yang tidak berada di antara keduanya."
“Dalam ambar kami memiliki benda-benda yang jelas-jelas tokek,” kata Dr. Stanley. “Spesimen prasejarah mirip tokek ini memiliki bantalan kaki. Tokek modern menggunakan bantalan jari kaki mereka untuk memanjat dinding dan melakukan gerakan kaki lengket lainnya, tetapi bantalan jari kaki prasejarah ini tampak agak berbeda,” jelasnya.
Dari hasil analisis secara mendetail pada spesimen, para ilmuwan menemukan bahwa bantalan kaki kadal yang ada dalam ambar tersebut ternyata lebih mirip dengan tokek yang hidup saat ini.
“Bahkan, 100 juta tahun yang lalu, tokek tampaknya telah mengembangkan subset alat yang beragam untuk menempel di permukaan,” tutur Stanley.
“Balok ambar lainnya memperlihatkan sejenis hewan yang sedang dalam perjalanan berubah bentuk menjadi bunglon,” Stanley menambahkan.
“Ini adalah perhentian setengah jalan yang menarik antara bunglon modern dan kelompok saudara dari bunglon, yaitu kadal naga,” terang Stanley, setelah ia melihat hasil CT scan spesimen tersebut.
Spesimen menunjukkan ia memiliki tulang belakang yang lebih pendek dengan tulang belakang yang lebih sedikit daripada kadal sepupunya, sehingga ia lebih mirip seperti bunglon yang hidup di pohon. Ia juga memiliki tulang hyoid yang panjang, yaitu tulang yang ada ditenggorokan bunglon untuk menembakkan lidah lengketnya dengan kecepatan tinggi ketika menangkap mangsanya yang lengah.
Stanley juga melaporkan bahwa ambar telah banyak membantu dalam penelitiannya. Ambar dapat melestarikan sesuatu ketika yang lain tidak bisa. Ambar hutan Myanmar yang memiliki kondisi hangat dan lembab membuat semuanya dapat terurai dengan cepat. Akan tetapi, sesuatu yang terperangkap dalam resin tidak terpengaruh akan hal itu.
Fosil-fosil yang ditemukan ini telah memberikan banyak petunjuk lain tentang kehidupan kadal pada masa yang lalu. Di mana kadal lebih memilih hidup merayap pada pohon dibandingkan dengan kadal masa kini yang lebih menyukai hidup di tanah.
George Poinar, ahli entomologi di Oregon State University yang dikenal karena penelitiannya tentang fosil ambar yang bukan bagian dari penelitian ini, mengatakan kepada Monitor, "Ini adalah proses fiksatif alami dalam resin.”
“Resin mengandung pengawet yang masuk ke dalam jaringan,” jelasnya.
"Pada saat yang sama, gula dalam resin menarik uap air dari spesimen. Kedua proses tersebut melestarikan jaringan organisme saat ambar mengeras di sekitarnya.” pungkas Poinar.
Post a Comment