Shigenori Nishikaichi, Pilot Jepang di Pearl Habor yang Salah Mendarat
Minggu pagi 7 Desember 1941, pilot Jepang berusia 22 tahun bernama Shigenori Nishikaichi membombardir Pearl Harbor, armada Amerika Serikat di Hawaii, bersama rombongan pesawat tempur lainnya. Tak hanya satu rombongan, setelah bombardir pertama kelar, 167 pesawat lainnya tiba dan menghancurkan lebih banyak pangkalan dan kapal milik militer AS.
Serangan ini membuat 1.000 orang tewas di dalam kapal Arizona, sebuah kapal raksasa yang berlabuh di Pearl Harbor. Secara keseluruhan ada 3.500 orang tewas dari insiden yang membuat armada AS lumpuh di Pasifik, sementara Jepang memperluas pengaruhnya di Asia tanpa risiko.
Walau hancur lebur, bukan berarti AS tidak melawan ketika diserang. Pesawat Shigenori dan lainnya juga tertembak. Rencana darurat sudah disiapkan bagi militer Jepang, bila tertembak harus mendarat ke pulau Ni'ihau di paling barat pulau Hawaii. Mereka mengira pulau itu tidak berpenghuni, tapi nyatanya ada 136 orang yang tinggal di sana.
Sungguh sial nasib Shigenori, pesawatnya harus mendarat darurat karena tangki bahan bakarnya bocor. Rawannya, dia membawa peta, kode, dan rencana pertempuran yang diperingatkan agar tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Ketika mendarat dengan kasar—roda pesawatnya menabrak kawat, tersangkut, dan menghantam tanah—sehingga dia pingsan.
Warga setempat bernama Howard Kaleohano menemukannya. Berhubung Shigenori belum siuman, ia mengambil surat-surat penting dan senjata milik si pilot. Baru kemudian Howard menyeretnya keluar pesawat. Ketika Shigenori siuman, mereka berdua bingung bagaimana caranya berkomunikasi.
Untungnya, di sana ada seorang peternak lebah keturunan Jepang-Amerika bernama Ishimitsu Shintani, dan pasangan bernama Yoshio dan Irene Harada. Tiga orang ini tidak tahu bila perang telah pecah di Pasifik, dan baru tahu ketika bertemu Shigenori setelah dipanggil oleh Howard.
Alangkah terkejut ketiga orang Jepang-Amerika itu, mereka memilih diam untuk tidak menyebarkan kabar ke warga setempat lainnya tentang apa yang telah terjadi. Mereka malah mengadakan pesta dengan api unggun, bahkan Shigenori sempat-sempatnya bermain gitar dan membawa lagu berbahasa Jepang.
Dia sangat yakin kapal selam Kekaisaran Jepang akan datang menjemputnya. Padahal kapal selam yang ditunggu itu telah dipesan untuk misi di tempat lain, tepat setelah dia mendarat.
Shigenori kemudian meminta tolong pada penduduk keturunan Jepang untuk mencari surat-suratnya. Tak lupa juga mencoba menyuap Howard untuk menyuap 200 dolar AS demi mendapatkannya. Tapi Howard menolak, dia merasa curiga tentang isi surat-surat itu.
Bersama Yoshio, Shigenori merebut senjata api dari gudang persedian, dan mendatangi Howard. Surat-surat itu sudah dipindah dan disembunyikan Howard ke rumah ibu mertuanya. Kesal tak mendapatkannya, mereka berdua membakar rumah, dan menyandera beberapa orang, yang membuat penduduk setempat kabur ke dalam hutan.
Salah satu penduduk ada yang menyalakan api isyarat untuk memberi tahu orang Hawaii di pulau terdekat—Kuai—bahwa mereka membutuhkan bantuan
Benehakaka Kanahele adalah seorang pria besar dan sangat kuat yang disandera Yoshio dan Shigenori. Suatu malam, dia lelah disandera dan langsung menerjang Yoshio untuk merebut senapannya. Shigenori bergerak cepat dengan menembakkan pistolnya ke selengkanagan, pinggul, dan dada pria itu.
"Lalu saya marah," kata pria yang disapa Ben dalam sebuah surat kabar yang dikutip sejarawan Greg Thompson, lewat buku berjudul A Tragedy of Democracy: Japanese Confinement in North America.
Kemudian istrinya, Kealoha Kanahelele menukul si pilot pakai batu, dan sang suami melanjutkan dengan menggorok lehernya. Melihat dirinya tinggal sendiri, Yoshio malah mengarahkan senapannya untuk bunuh diri.
Tak lama bala bantuan datang dari Kauai ke Ni'ihau dengan menangkap orang-orang yang terlibat. Shintani, si pria tua itu ditangkap dan dikirim ke kamp interniran. Dia baru menjadi warga negara AS pada 1960. Sementara, Irene harada dipenjara di Honolulu selama tiga tahun dengan tudingan membantu pecahnya Peristiwa Ni'ihau.
Ben kemudian mendapatkan penghargaan medali atas aksi heroiknya, sementara istrinya tidak.
Thompson berpendapat tragedi itu menjadi program interniran penduduk dan keturunan Jepang di Amerika, sebuah proses penangkapan rasialis anti Jepang karena tudingan pengkhianatan. Kebijakan itu disebut Executive Order 9066 yang ditandatangani Presiden Franklin D. Roosevelt
"Fakta bahwa dua orang Jepang Ni'ihau yang sebelumnya tidak menunjukkan kecenderungan anti-Amerika pergi untuk membantu pilot […] menunjukkan kemungkinan bahwa Penduduk Jepang yang sebelumnya percaya setia kepada Amerika Serikat bisa saja membantu Jepang," terang Irving Mayfield, perwira intelijen Angkatan Laut AS.
Thompson menulis terkait hubungan Peristiwa Ni'ihau dengan kebijakan itu, "Ini tampaknya spekulasi yang tidak berdasar."
"Tidak ada bukti bahwa insiden Ni'ihau mempengaruhi kebijakan di kemudian hari—tidak ada satupun transkrip dan memorandum Departemen Perang dan diskusi Gedung Putih mengenai orang Jepang-Amerika di Pantai Barat yang telah saya ulas soal insiden Ni'ihau yang bahkan pernah disebutkan."
Post a Comment